Once Upon A Time in Anatolia

Anatolia? Kalimat ini yang awalnya membuat saya bertanya-tanya tentang film ini. Nama kota kah? Nama negara. Keingin tahuan yang kemudian semakin tertriger dengan stempelan Film Cannes. Dua hal itu cukup untuk meyakinkan saya untuk menonton film yang berdurasi 2 jam 43 menit ini.

images

Cukup yakin untuk tetap duduk ketika salah satu orang dari layarkita menjelaskan bahwa film ini beralur lambat, tanpa ada thriller ataupun action.  Film yang dilabeli sebagai film yang memang tak diperuntukan untuk semua orang.

Bertahan di IFI malam itu, rupa-rupanya itu pilihan tepat.

Banyak hal yang tak perlu disampaikan dengan cara berteriak-teriak atau marah-marah ataupun dengan jungkir balik luar biasa. Film ini salah satunya, Nuri Bilge Ceylan membuatmu tergangah dengan alur cerita yang biasa-biasa saja.

Cara-cara sederhana jika dikemas dan dijahit dengan teliti serta tepat tak jarang lebih menampar dibanding cara luar biasa. Betul? Penonton tak pernah siap dengan kejutan yang ditawarkan ataupun tamparan yang diselipkan. Sentilan yang tak dikira selalu lebih menyakitkan. Menjadi lebih diingatkan dan menelusup lebih dalam karena tanpa pertahanan apa-apa. Hal inilah yang akan dirasakan dalam film panjang beralur lambat ini.

Terdohok tanpa persiapan, tersungkur lalu malu.

Tulang punggung dari film ini adalah pencarian mayat dari sebuah pembunuhan di tengah lembah-lembah hijau daerah Turki yang berdebu dan berangin kencang. Sungguh tak ada satupun yang special dari, alur cerita yang  monoton dan berjalan maju itu.

Tapi, pencarian mayat ini bukan satu-satunya hal yang sebenarnya ingin di sampaikan dari sang sutradara. Di tengah pencarian yang bisa dibilang membosankan ini perlahan-lahan dibangun beberapa alur cerita sederhana lainnya yang sewaktu-waktu meledakkan emosi seperti kembang api yang cemerlang lalu kembali meninggalkan gelap dan hampa.

Penonton dibuat bosan dan kurang awas untuk kemudian ditampar dengan keras. Letupan-letupan emosi ini diakomodir dengan potongan-potongan percakapan bernas tentang topik keseharian diantara para polisi, dokter, pasukan pengaman dan seorang prosecutor. Datar namun sekaligus mampu membuatmu duduk tak tenang di kursimu. Bukan bukan untuk berlalu, tapi untuk menanti ledakan-ledakan lain di alur cerita yang biasa-biasa ini.

Kecerdasan bercerita ini didukung dengan cinematography yang sungguh membuatmu berdecak kagum dengan angle pengambilan yang begitu sempurna. Detil dan tepat sasaran. Salut untuk Gökhan Tiryaki.

Seakan membaca sebuah buku bagus beralur lambat, once upon a time in Anatolia memperkenalkan satu per satu cerita dari tokoh-tokohnya. Sulit bagi saya menentukan siapa tokoh utama dalam cerita yang begitu bulat ini. Seperti kisah-kisah dalam hidup yang sering kali sulit untuk dipahami dan dicarikan kesimpulan, kisah di film ini juga dibiarkan terbuka pada interpretasi masing-masing.

Karena di hidup ini, tiap-tiap orang punya pilihan dan toleransinya masing-masing untuk dapat menjalaninya.

Salah satu dialog paling berkesan buat saya,

Would a person really kill themselves to punish someone else? Would they do that doctor?

Aren’t most suicides intended to punish someone else, Mr Prosecutor?

 

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *