Manifesto Flora

“Kamu pernah baca buku Manifesto Flora ga Nat?” tanya Theoresia Rumthe di suatu sore ketika kamu sedang mengudap nasi goreng untuk makan malam yang dipercepat. Pertanyaan yang saya jawab dengan gelengan. 

“Kamu harus baca! Itu buku bagus.” begitu ucap Theo bersemangat. 

Malam ini saya menyelesaikan buku itu. Sesuai penilaian Theo, buku karangan Cyntha Hariadi ini memang pantas disebut buku keren.  Ada 23 potongan cerita di dalam buku setebal 163 halaman ini. Cerita-cerita dengan diksi unik dan topik-topik yang tak jarang tabu dan tak ingin dibicarakan orang. 

Mengutip komentar Eka Kurniawan, dia pencerita yang dingin. Tapi menurut saya Cyntha bukan sekedar dingin, dia mampu menebasmu begitu cepat tanpa kamu sadari dengan kata-kata tajam dan analoginya yang begitu nyata. 

Membaca buku ini kamu seakan diajak berjalan-jalan keliling dunia untuk menyadari bahwa luka terbesar yang ditampilkan manusia berasal dari keluarga. Cerita-ceritanya begitu sederhana, namun analoginya cukup untuk membuatmu teriris-iris pedih dan tertampar-tampar. 

Cerita-cerita di sini sebagian besar memang tak punya ending jelas. Hal yang justru tepat untuk membuatmu berkaca dan menilik lebih dalam. 

“Rasa kasihan kadang mirip dengan kasih, bukan?” ~ Bekas Teman Baikku, hal 98

Salah satu cerita favorit saya dan punya tema yang sedikit berbeda dibanding yang lain berjudul Melankolia. Cerpen menarik menyoal sudut panjang seekor anjing. Lucu, manis dan hangat. 

Akhir kata buku ini menarik buat dibaca dan bisa sekali jadi penyemai ide bagi yang sedang buntu. Ada begitu banyak angle dan diksi menarik di sini. 

PS: thanks buat Theo untuk rekomendasi dan pinjaman bukunya 🙂 

Dago 485, 2018-7-22

Ivy


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *