Di umur yang menjelang kepala tiga ini, setiap kali saya pulang ke rumah, saya tetap diperlakukan oleh Ibu seperti anak-anak. Ibu akan duduk menunggu di depan pintu. Tergopoh-gopoh mendorong pagar ketika taksi saya sampai di depan rumah. Tersenyum penuh syukur dan, sebelum saya sempat duduk, akan bertanya, “Mau makan apa?” Takut anaknya kelaparan.
Saat saya masih saja bercerita, belum sempat menjawab pertanyaan beliau, Ibu akan ke dapur dan menyodorkan saya sepiring buah yang sudah dikupas dan dipotong—khusus untuk saya. Selalu. Saat saya memutuskan untuk mandi, dengan sigap beliau bertanya, “Mau handuk? Butuh air panas?” Ibu selalu siap sedia, selangkah sebelum kegiatan apapun yang akan saya lakukan. Bahkan ketika tidurpun, beliau akan bertanya, “Mau tambahan bantal?”
Setelah sekian lama merantau di luar rumah, kadang hal-hal remeh begini membuat haru, namun di lain waktu, membuat gerah. Ketika segala perhatian menjadi batasan, dan segala kekhawatiran diyakini seakan nyata: “Jangan pergi sendiri, berbahaya! Biar Mama temani.”
Saya tahu persis, menjadi ibu itu pencapaian lahir batin yang tak mungkin dapat dimengerti jika tidak dirasakan sendiri. Biasanya setiap pedebatan saya dengan Ibu akan berakhir dengan kalimat wasiat: “Nanti kalau sudah jadi ibu, baru kamu mengerti.” Ya, saya paham betul betapa membawa janin selama sembilan bulan dan membiarkannya berdenyut dan memekarkan tubuhmu memunculkan banyak cinta yang tak mungkin luntur oleh apapun. Meregang nyawa untuk memunculkannya di dunia pun jadi pembuktian awal cinta itu.
Tapi, Ibu, jika boleh anak perempuanmu yang sedang belajar dewasa ini ingin menyampaikan beberapa pesan. Ibu Tersayang, kami tahu, tak peduli seberapa tua umur kami, kami akan selalu menjadi bayi mungil di matamu. Ibu, kami tahu betapa besar cintamu bagi kami anakmu, tapi di akhir, setiap ibu harus mampu melepaskan anak-anaknya untuk menjadi manusia. Biarkan kami terjatuh, tersesat, dan terluka, meskipun sungguh kami mengerti betapa sakitnya bagimu saat melihat itu terjadi pada kami. Tapi bukankah selimutmu tak akan cukup lebar untuk dunia ini?
Pada kenyataannya, dunia ini bukan seperti dongeng yang dulu selalu Ibu bacakan untuk kami. Ibu, kami tahu betapa luar biasa menjadi seorang ibu. Ibu itu manusia super; Ibu itu perempuan kuat yang biasanya mengikat erat keinginannya; segalanya diperjuangkan demi kepentingan anaknya.
Jangan terlalu memanjakan kami, Ibu, sebaiknya ajari kami bagaimana menjadi kuat. Bagaimana menjadi super sepertimu. Sehingga kelak, jika waktunya tiba dan kami mendapat kehormatan untuk menjadi ibu, kami tahu bagaimana cara melakukannya.
Ajari kami dan beri kami ruang untuk mencoba. Tunjukkan pada kami bahwa tak semua hal yang kami inginkan harus kami dapatkan. Tolong persiapkan kami secara mental untuk hal-hal buruk yang akan terjadi dalam hidup, seperti kegagalan, pengkhianatan, dan kematian.
Terakhir, kami tahu, menjadi ibu adalah pekerjaan seumur hidup yang tak mengenal pensiun. Namun jika boleh, beristirahatlah sejenak. Lihat kami anakmu yang sedang belajar ini seperti seorang mentor. Marahi kami jika perlu, selebihnya beri kami ruang untuk belajar menjadi ibu.
Ibu, Ibu, Ibu: tak peduli seberapa kasar kata yang pernah terucap padamu, kami yakin telah termaafkan bahkan sebelum sempat kami ucapkan. Semoga kelak jika waktunya tiba, kami yang telah belajar dewasa ini mampu menjadi ibu yang baik bagi cucu-cucumu.
*sebelumnya tulisan ini dipublish di www.kamantara.id
Leave a Reply