Peluk Nusantara

“Nat, aku mau buat acara #sayangindonesia dan #peluknusantara nih.” Kira-kira begitu isi pesan wa Theo pada saya di suatu malam. 

Saya tak butuh tanya mengapa, karena bulan lalu rasanya suhu bumi yang memang sudah naik sepanjang tahun ini jadi lebih panas dari biasanya, khususnya Indonesia lebih spesifik lagi Jakarta. 

Segala berita tentang SARA yang membuat kawan jadi lawan tak lagi terhitung. Timeline media penuh berita dengan judul kontroversial. Semakin gila semakin laku, mgk begitu tagline nya. Maka ketika seorang teman menawari saya untuk menetralkan suasana tentu saya setuju. 

Saya minta waktu 2 hari untuk memikirkan kesanggupan saya dan akhirnya dengan yakin menyangupi jadi satu dari sekian orang yang akan berbagi sesuatu. 

Ketimbang mendengki, mengapa tak sama-sama bersua lalu bersuka cita. Idenya sesederhana ini. Maka ketika kemarin malam, kedai CAS yang terletak di depan Cititrans DU penuh manusia, saya terharu. Masih banyak manusia sayang sayang Indonesia. 

Hujan sempat turun beberapa kali, tapi bulan purnama tetap bolak balik tersenyum dari atas sana. Sedikit terlambat, tapi acara ini sungguh meriah. Saya pulang dengan perasaan ruah dan hangat.

Ini potongan prosa yang saya bacakan kemarin malam 

“Nusantara kita ini tak punya kaki, tak punya tangan dan tak punya suara. Ia tak bisa berlari, berteriak atau memekik. Suara dan tangan kitalah yang jadi penyambungnya. 

Jarak antar pulau dapat ditempuh, jarak antar hati sulit terengkuh. Kita ini sama meski berbeda. Buka mata buka hati, renggangkan tangan, rapatkan jarak mari bersama peluk Nusantara ” 

Mungkin benar kata Bang Nasrul, “meski Indonesia ini penuh drama, tapi tetap saja kupeluk mesra” 

Terima kasih untuk Theoresia Rumthe yang sudah berinisiatif mengadakan acara ini. Butuh dibuat lebih berkala sepertinya. 

Dago 485, 2017-6-10

Ivy


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *