Akhir tahun kemarin saya berkesempatan membawa ibu saya berpetualang ke Thailand. Salah satu kota yang cukup lekat di ingatan adalah ayutthaya. Masih asing di telinga? Kota ini belum seterkenal Bangkok, hanya berjarak 80 km dari bangkok. Cerita lebih detil tentang Ayutthaya dan bagaimana mencapainya pernah saya jabarkan di sini.
Wat mahattat, the famous wat in ayutthaya
Kami menjangkau Ayutthaya menggunakan kereta api dan mengabiskan waktu 3 hari 2 malam di kota yang ayu ini. Dalam jangka waktu tersebut, kami mendatangi station kereta setiap hari, ketika sampai, ketika akan berkunjung ke Lopburi dan ketika akhirnya berpindah ke Chiang Mai.
Kereta kelas ekonomi di Thailand tak berbeda jauh dengan kereta di Jakarta yang sering mengalami keterlambatan. Tak dinanya, kami sering menghabiskan waktu menunggu di station kereta Ayutthaya. Seperti kebanyakan kota kecil lainnya, station KA di Ayutthaya tak besar namun cukup bersih.
Saat menunggu saya sering kali bolak balik memastikan jadwal kereta ke petugas. Harap maklum, pengumuman yang seringnya menggunakan bahasa thailand, membuat saya cukup bingung dan cemas tertinggal kereta. Kegiatan berulang ini membuat saya familiar dengan salah satu kondektur. Saya bahkan tak perlu lagi bertanya, cukup memandangnya dengan senyum, lalu dia akan menggeleng atau mengangguk untuk memberi jawaban. Membuat tertawa jika dikenang,saya bahkan masih ingat betul dengan wajah ramahnya.
Keterbatasan bahasa membuat kami tidak mampu bertukar cerita, maka hanya senyum yang terus dilayangkan. Di hari terakhir, kejadian yang sama kembali berulang. Kali ini, pak kondektur dengan sigap memberi laporan tanpa perlu saya tanya ketika melihat tiket saya. Kereta tujuan chiang mai terlambat lebih dari satu jam. Maka akan ada waktu untuk dibuang kembali di statiun ini.
Saya, ibu dan saudara saya duduk mengobrol sembari membuka bekal makanan yang salah satunya adalah keripik jengkol. Saya yang sudah beberapa bulan tidak pulang kampung dioleh-olehi kerupuk jengkol favorit ketika akhirnya kami bertemu di KL. Begitulah sang kerupuk jengkol ini dari Padang ikut terbawa hingga ke ayutthaya.
Pak kondektur tanpa nama ini beberapa kali melewati kami dengan senyum ramahnya. Ntah ide gila siapa, namun pada akhirnya kami sepakat menghadiahi sisa kripik jengkol tersebut untuk pak kondektur. Apakah kripik jengkol akan dimakan habis atau dibuang? Saya pun sebenarnya penasaran, semoga ekspresinya yang penuh senyum ketika mencicipi kripik tersebut adalah pertanda baik.
Bukankah berpetualang itu berbagi cerita dan rasa dari negeri kita? Semoga saja dia tidak kapok dengan turis indonesia karena keripik jengkol saya. Semoga..
Padang, 2015-4-8
Ivy
*biru yang tiba-tiba ingat kripik jengkol
Leave a Reply