“Anjing!” saya lupa kapan terakhir kali saya memaki orang dengan umpatan ini. Kapan terakhir kali saya begitu murka hingga menyemprotkan kata-kata kasar? Tak ingat.
Hingga pagi ini saya memaki demikian kasar dan kencang, di Ubud. Tepatnya di pinggir jalan Kajeng. Saya sedang menepi dengan sepeda motor dan mengecek google map untuk mencari tau rekomendasi cafe yang buka sedari pagi. Ya, terlambat setengah jam, bubur bali pasar Ubud habis dan sekarang saya bingung mencari tempat untuk makan pagi dan kerja.
Saat sedang sibuk dengan peranti elektronik itulah seorang pria dengan motor mendekati saya tiba-tiba. Berkata Halo lalu mencoba memegang selangkangan saya dan segera memacu motornya. Tujuannya tak tercapai, dia hanya menyentuh perut bawah saya. Tapi ada rasa kesal yang serta merta membongkah di dada ketika momen kurang dari 1 menit itu berlalu.
Saya marah. Saya dongkol. Saya kesal.
Penuh amarah, saya dilecehkan. Itu yang muncul di kepala dan menusuk di dada. Bagaimana mungkin hal semacam ini terjadi di Ubud? Beribu kesal membongkah meninggalkan degung nyaring. Mengapa saya kurang awas? Mengapa saya tidak melempari pria kurang ajar tersebut dengan sendal? Seluruh badan mendidih merasakan emosi, lalu pelan-pelan ia meluruh. Bagian diri yang masih logis mengambil alih kontrol diri.
Salah satu qoute yang dituliskan beradadisini di bukunya breakhearts
“Life consists of two things: The things we can change, and the things we cannot change. Anyone who knows the difference is happy person.”
Disadarkan kembali oleh kalimat ini, saya memilih mencari restoran kecil untuk menepi dan menuliskan pengalaman ini. Menulis selalu jadi terapi terbaik untuk hal apapun yng ditawarkan hidup bagi saya. Meluruhkan segala emosi dan menjadikannya pelajaran.
inhale love exhale sh*t!
Kesimpulan dari hal tak menyenangkan ini adalah:
Awas dengan sekitar adalah hal yang butuh dibiasakan di manapun berada.
Little talk, Ubud 2019-04-12
ivy
Leave a Reply