“Mungkin habis ini, gua bisa terbang!” canda saya kepada seorang teman setelah berbagi beban rasa atas apa yang terjadi lebih dari sepekan terakhir.
Bulan ini adalah bulan terburuk sepanjang hidup saya. Corona? Bukan hanya itu. Di tengah pandemik Corona yang kian mengkhawatirkan, saya kehilangan ibu dengan cara yang begitu mengejutkan.
Oktober tahun lalu, akhirnya saya mampu menyelesaikan cicilan tabungan kehilangan akan kepergiaan ayah 4 tahun silam. Di matahari pagi yang menghangatkan Nuwara Eliya, saya duduk manis memandang Danau Gregory dari beranda hotel. Menuliskan kata-kata lega dan menutup buku pertanyaan saya dan menyudahi segala gelombang sesal yang tak punya muara.
Ringan.
Saya masih ingat jelas potongan kejadian tersebut lengkap dengan seulas senyum hangat dan perasaan bebasnya. Belum setahun, semesta menitipkan saya pelajaran baru yang harus saya cicil lagi. Pelajaran yang lebih berat di tengah kondisi yang tergolong kritis. “Gua kayaknya dimasukin kelas akselerasi ama Tuhan..” ujar saya sarkas ketika bercerita dengan seorang teman baik.
“Semoga kali ini lebih ringan karena sudah punya pengalaman.” ucap teman lain menguatkan. Ucapan yang dengan segera saya bantah. Karena jika ada hal yang berepetisi, namun tak membuatmu menjadi ahli maka kehilangan namanya. “Tak ada petunjuk untuk menghadapi kehilangan.” begitu ucap sobat lain yang juga baru kehilangan salah satu anggota keluarga 6 bulan silam.
Satu-satunya yang berbeda saat ini adalah saya tau persis apa yang harus saya cicil. porsi terbesar dari kehilangan adalah rasa bersalah, penyesalan. Pun katanya, penyesalan adalah manifestasi dari kehilangan.
Dear friend, life is fragile.
PS: Di tengah pandemik Corona, mungkin ini waktu yang tepat untuk menilik lagi hal-hal kecil yang selama ini kita terima tanpa pamrih. Again, life is fragile. Indeed. Just like a magican, our soul can gone just in a blink.
Padang, 2019-03-24
ivy
Leave a Reply