Lara

Maret 2020 akan jadi bulan yang tak terlupa bagi banyak insan. Pendemik yang melanda Nusantara, seperti gelombang besar yang menghantam dengan cepat dan keras. Tiap kita dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan yang tiba-tiba. Limbung, kesal, cemas, kecewa, marah, sedih semua rasa jadi satu dan bertali temali.

Wajar.

Buat saya pribadi, bulan lalu adalah bulan terburuk dalam 30 tahun hidup saya di dunia. Di tengah segala kerusuhan yang terjadi, saya kehilangan ibu, pun dengan tiba-tiba. Tak banyak merepotkan, begitu cepat dan tentu memberi kejutan. Di jam-jam menjelang siang seperti sekarang, di IGD rumah sakit, jantungnya tiba-tiba memutuskan untuk berhenti. Dalam hitungan menit, ibu menutup usia. Singkat. Persis seperti yang selama ini diimpikannya.

“Kalau boleh, gua mati ga usa lah nyusahin orang.”  — Then she get it.

Bagi saya yang masih sempat berbincang panjang dengannya di malam sebelumnya bahkan satu jam sebelum kepergiannya, jelas ini seperti pukulan telak yang tak pernah kau sadari arahnya. Saya jatuh tersungkur. Bertanya-tanya lagi dan lagi, memutar kembali hal-hal yang terjadi di minggu-minggu terakhir. Mengorek-ngorek dan mencongkel lagi segalanya. Mencari-cari jawab atau mungkin pembenaran untuk rasa bersalah yang tersisa dari sebuah kehilangan.

Setelah dua minggu lebih berkubang di lubang, saya sadar setiap kehilangan biasanya meninggalkan benih penyesalan. Tapi, yang pergi tak akan pernah kembali. Lalu teringat pesan Soren Kiekengard, hidup hanya bisa dimengerti dengan melihat ke belakang (kejadian-kejadian yang telah terjadi), tapi ingat hidup harus dijalani ke depan.

Maka sebagai penulis, saya memutuskan untuk membagi hal-hal yang saya temukan menyoal si silent killer ini bagi yang lain.  Semoga kelenggahan saya bisa menjadi pelajaran bagi orang lain.

PS: Saya akan buat post terpisah menyoal ini.

 

Padang, 2020-04-01

ivy


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *