Tulisan ini disertakan dalam lomba ‘jalan-jalan nasionalisme’ yang diadakan Travel On Wego Indonesia #wego17an
“Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau, sambung menyambung menjadi satu. Itulah Indonesia …“

Petikan lagu dari Sabang sampai Merauke ini adalah penyulut awal jiwa petualangan saya. Saat saya kecil dan tinggal di Sumatera Barat, saya sering bertanya pada orang tua:“Di mana itu Sabang? Di mana itu Merauke? Berapa jauh dari sini? Ada apa di sana?”

Sebut saja itu percikan nasionalisme seorang anak yang ingin tau lebih akan negaranya. Namun api kecil ini perlahan-lahan meredup, seiring semakin jarangnya lagu-lagu kebangsaan diputar. Terlipat dan terlupa, ada namun tak pernah diberi pupuk.

Tumbuh dewasa dan berkesempatan menuntut ilmu di tanah Jawa, keingintahuan dan keinginan saya untuk bertualang menjelajah Indonesia kembali bergejolak. Mendengarkan cerita-cerita menarik dari teman-teman di daerah, melihat budaya nusantara yang beraneka ragam. Mulai tertanam tekad untuk mampu melihat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Tahun 2008 saya melakukan perjalanan perdana yang membuat saya semakin mencintai Indonesia. Masih teringat jelas betapa amatirnya saya menarik koper besar di pinggiran pantai Gili Trawangan. Betapa magisnya melihat salah satu teman saya menunaikan sholat di Pulau Dun-Dun yang tak berpenghuni—hanya ada kami bertiga di sana saat itu. Dada ini melonjak bangga menyadari Indonesia itu indah melebihi batas yang mampu dibayangkan.

Keramahan warga Wae Rebo yang selalu menyalami pendatang setiap bertemu. Gelombang luar biasa di Laut Flores berpadu dengan sinar matahari pagi yang mampu menggugah hati hingga air mata menetes. Pengalaman berenang bersama ubur-ubur tanpa sengat di Danau Kakaban. Perjalanan panjang dan melelahkan ke Tolikara dengan pemandangan seindah surga yang membuat mulut ini hanya mampu terganga. Kejernihan dan kesegaran air Danau Labuan Cermin yang punya dua rasa. Tak terdefinisikan kata, tak terlukiskan gempita rasa.

Apakah semua perjalanan mengelilingi Indonesia membuat nasionalisme saya bertambah? Tak terbantahkan. Begini analoginya, apa yang kamu rasakan ketika teman, pacar, saudara, anak yang jelas-jelas sudah kamu sayangi punya bakat tersembunyi lain yang luar biasa? Semakin bangga bukan?

Tentu perjalanan ini tak selamanya tentang melihat yang indah-indah, tak terelakkan, ketidaksetaraan masyarakat pedalaman dan kota akan terasa. Betapa harga BBM yang mencapai Rp 20 ribu per liter di Biduk-Biduk adalah biasa. Betapa menunggu oto dari Labuan Bajo ke Dintor selama 4 jam adalah biasa. Betapa tingginya harga ayam di Papua karena dibawa dari Surabaya adalah biasa. Miris. Namun bukankah hal ini juga butuh dan akan tersadari dari perjalanan-perjalanan itu? Saya tak punya kuasa memperbaikinya secara langsung, namun setidaknya mampu menyuarakannya dalam bentuk gambar dan tulisan. Itu salah satu kewajiban saudara sebangsa bukan?

Lepas dari semua demam media sosial, perang foto-foto liburan, dan slogan-slogan yang merecoki kita untuk berjalan-jalan,perjalanan itu sendiri adalah sesuatu yang sakral. Melalui perjalanan, kita belajar menghargai budaya lain, membuka bukan hanya mata tapi juga hati, menyusun kepingan tentang Indonesia. Meraba Indonesia, tanah tumpah darah kita.

Perlahan tapi pasti, saya mulai kecanduan perjalanan, saya kecanduan Indonesia. Saya ingin menyaksikan lebih banyak lagi keindahan alam Indonesia, merasakan keramahan rakyatnya, mencicipi keunikan budayanya. Saya ingin menyelami Indonesia dan satu-satunya cara adalah bertandang ke sana, melihat dan merasakan langsung di tempatnya. Di manapun itu. Tak akan berhenti mengumpulkan gambaran Indonesia dan semoga selalu dan lebih mencintai Indonesia secara menyeluruh.

Selamat bertambah usia negaraku! Jayalah selalu ibu pertiwi, harumlah namamu sepanjang segala masa.

Padang, 2015-8-30
Ivy
Leave a Reply