[Vietnam Diary] Day #15

Tadi pagi Yen Minh menyambut saya dengan cuaca syahdu khas pegunungan. Meski tak seberkabut kota-kota sebelumnya, tapi cuacanya cukup bikin perut mendamba makanan hangat di pagi buta.
Maka dengan enggan saya menyeret kaki mencari pho di pukul 7.30 pagi. Lambung yang tak seberapa bersahabat dalam beberapa hari ini sangat membatasi makanan yang diterima perut. Pengennya yang hangat dan lembut, kayak kamu. *eh lalu disawer daun pisang.


Hari ini, tersisa jarak 100 km yang harus saya selesaikan untuk sampai ke Ha Giang. Kata teman sih itu setara jarak Jogja-Semarang. Kalau dipikirin jauh emang jauh sih, tapi apalah arti jarak kalau emang sudah sayang. *uhuk lantas dikepret pake batang pisang (šŸ¤˜šŸ»).

Manusia berencana tapi memang Tuhan yang menentukan kan sodara-sodara ya? Yang percaya bilang amien. Maka setelah berjalan sekitar 20 km, gerimis romantispun turun menemani. Maka sayapun menepi dan menggunakan ponco yang sudah disiapkan untuk ini.
Temperatur dengan segera drop menjadi 16 degree di siang bolong yang terik. Tapi hati kadung bahagia melihat pemandangan yang semakin terasa seperti di negeri dogeng.

Motor terus saya pacu dengan perlahan-lahan. Ketika akhirnya hujan semakin lebat, saya menepi di salah satu kedai warga di pinggiran jalan kecil yang bahkan tak terdata di google. Tak ada yang bisa berbahasa inggris, pastinya. Bersama saya, menepi juga beberapa warga lokal yang juga  kehujanan. Mereka membeli ponco murah lalu menyarung sepatu mereka dengan kantung plastik. Nah tentu saja trik ini ikut saya praktekan. Begitu hujan mereda kamipun berlalu tanpa berkenalan hanya bertukar senyum.


Sampai di salah satu kota terdekat Quan Ba, saya kembali mengisi perut dengan pho. Apa yang lebih lezat dari makanan berkuah hangat ketika kamu kedinginan? Makan dengan lahap sembari menunggu hujan benar-benar reda.

Setelah hujan berhenti, dengan cuaca yang dingin-dingin nyes saya memaksa diri melanjutkan 50 km terakhir. Tapi ya tapi, apa daya cuaca yang tak sesuai prakiraan cuaca itu dalam bbrp km berubah menjadi kabut tebal hingga jarak pandang hanya tersisa 3-5 meter saja. Maka semakin menyiputlah saya berjalan, hingga menemukan sebuah kafe kecil yang tentu sudah diisi oleh berbagai pengendara lain yang juga memilih menepi karena cuaca.


Dengan segelas teh dilmah bercakap-cakaplah saya dengan pejalan lain. Ketimbang ngomel-ngomel toh tak mengubah apa-apa, saya anggap saja ini ajang temu kangen pejalan Ha Giang Loop. Berbagi tips dan pesan-pesan.
30 menit berlalu, 1 gelas teh sudah habis tapi cuaca tak juga membaik. Ada juga yang berputar arah dan kembali ke kota terdekat. Saya masih memilih mendengarkan cerita dari beberapa teman pejalan ada yang dari Brazil dan dari Norwegia. Kabut masih tebal-tebal dan memenuhi seluruh ruang. Gelas kopi keduapun mulai habis. Akhirnya kami memilih untuk berjalan pelan-pelan dan memberi sedikit kepercayaan bahwa badai pasti berlalu. *kan?!

Untunglah asumsi tersebut benar adanya, setelah 5 km berjalan dalam kabut, perlahan-lahan jarak pandang semakin jelas dan mulai kembali normal. Sekitar pukul 14.30 sore saya sampai di Ha Giang kota tujuan dengan selamat! Yeay… 


Lesson #18

Untuk hal yang tak bisa diprediksi baiknya belajar dinikmati.
Ha Giang, 2018-03-21

Ivy

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s