“you haven’t come to love that book, yeah?” — ini pertanyaan yang diajukan seorang teman ketika saya menceritakan belum juga mampu menyelesaikan buku “The God of Small Things” milik Arundhati Roy.
Malam ini saya terpukau, mengharu biru ketika akhirnya mampu menyelesaikan lembar-lembar terakhir. Buku ini seperti puzzle yang di awal begitu statis dan mulai mengalir perlahan-lahan dan menarikmu menyelam semakin dan semakin dalam lalu tanpa sadar terhanyut.
Di awal-awal cerita dari buku ini sangat membingungkan, semua informasi detil yang diberikan seperti makanan berlebihan yang tak mampu saya cerna. Begah.
Ada hal tak terjelaskan yang membuat saya terus membacanya perlahan-lahan, bak daging alot yang butuh waktu untuk dicerna. Mungkin semacam tamparan menohok yang malu untuk diakui. Ditutupi tapi terus dipikirkan.
Setelah punya cukup kemampuan untuk melanjutkan perjalanan akhirnya saya menemukan potongan puzzle ini tesambung. Anehnya, walau kamu tau persis akhir dari cerita, tapi detil-detil penting tetap membuatmu penasaran dan ingin menyelam lebih dan lebih dalam lagi.
Bukan buku sembarangan dan sungguh butuh perjuangan untuk bisa menamatkannya. Buku yang membuatmu berproses bersama hingga akhir. Setidaknya bagi saya.
Persis hidup yang hanya mampu dipahami setelah dilalui. Halaman-halaman awal hanya terpahami setelah halaman-halaman selanjutnya. Pelajaran penting, kebingungan tak sebaiknya menghentikanmu.
Bersiap dengan segala kenyataan dan kesatiran hidup yang dipaparkan satu persatu dikuliti.
Dago 485, 2017-5-23 (00.15am)
Ivy
.
*noted: masih dalam euforia rasa yang sulit diurai. Lalu, bagaimana mungkin saya sempat membenci buku ini? Ternyata bukan hanya mnsia yang mampu membuatmu jatuh cinta perlahan-lahan.